Rabu, 02 Januari 2008

Implementasi Asuransi Kesehatan Bagi Keluarga Miskin (Gakin)

Ditengah upaya Negara untuk memperbaiki pelayanan dasar bagi warganegara (citizenship), Pemerintah melalui PT Asuransi kesehatan memberlakukan Program Jaminan Pemeliharaan kesehatan bagi Masyarakat Miskin dalam bentuk Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (ASKES GAKIN). Instrumentasi atas berjalannya mekanisme tersebut ternyata menyisakan masalah yang akut. Diluar mis-coordinasi antara PT. ASKES sebagai Badan Pelaksana Asuransi Kesehata dan PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan) sebagai provider, secara psikis adanya ketakutan dari masyarakat miskin sebagai peserta ASKES-GAKIN berhadapan dengan birokrasi menjadi kendala instrumentasi subsidi ASKES GAKIN juga lemah di implementasikan.

Ibu Karsiyah, adalah salah satu pelapor yang datang ke Lembaga Ombudsman Daerah Propinsi DIY (LOD-DIY) untuk membicarakan kasus lemahnya instrumentasi pelayanan subsidi kesehatan bagi masyarakat miskin. Ditengah kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, pelapor sebagai pemilik kartu sementara Asuransi Kesehatan dengan no: 6356215003264 ini memberikan keterangan ke LOD-DiY bahwa Anak kandungnya, Ajud Joko Supriyono, pada tanggal 22 Oktober 2005 dirawat inap RSUD Sleman.

Biaya keseluruhan di rumah sakit dirasakan sangat memberatkan. Pekerjaan keseharian yang pas-pasan tidak mampu mencukupi biaya rawat inap, obat dan darah. Beruntung bagi beliau, RSUD Sleman memberikan fasilitas rawat inap gratis di Kelas III karena kondisi perekonomianya.Walaupun pada awalnya, fasilitas rawat inap gratis di kelas III penuh, sehingga anaknya harus menempati fasilitas rawat inap di kelas II.

Mendapatkan fasilitas rawat inap di Kelas III bukan berarti bebas biaya administrasi dan biaya empat kantong darah. Ia tetap diharuskan membayar uang administrasi dan biaya empat kantong darah sebanyak 400.000 rupiah. Disamping itu, juga diharuskan membeli obat di luar RSUD seharga 200.000 rupiah dikarenakan harga obat di dalam rumah sakit mahal dan tidak tersedia.

Kronologis Penanganan Kasus

Kasus

22 Oktober 2005

Pemungutan Biaya RS Daerah Sleman dari pemilik kartu sementara Askes-Gakin

Pelapor

Karsiyah, Perempuan

Terlapor

RSUD – Sleman dan PT Akses KCU Yogyakarta

Alur penanganan

23-27 Desember 2006

· Pelapor datang ke LOD

· Investigasi Lapangan ke Rumah Pelapor

· Mediasi

· Rekomendasi

Hasil

· Pengembalian biaya 480.000 rupiah oleh pihak PMI kepada pasien

Kasus yang dilaporkan oleh Ibu Karsiyah dikategorikan sebagai tindakan mal-administrasi. Hal ini didasarkan pada implementasi program ASKES-GAKIN yang dialami Ibu Karsiyah tidak berdasarkan pada standar pedoman penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin yang dikeluarkan Depkes RI tahun 2005. Dalam aturan tersebut menyatakan bahwa diluar akomodasi rawat inap gratis, ada beberapa kriteria standard pelayanan yang diberikan rumah sakit pemerintah. Diantaranya adalah konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan fisik, tindakan medis, pemberian obat-obatan sesuai ketentuan dan pelayanan darah.

Untuk menindaklanjuti kasus tersebut, LOD-DIY melakukan investigasi lapangan untuk mendapatkan penggalian data yang lebih akurat. Dikhawatirkan data yang dipaparkan tidak terungkap secara maksimal dikarenakan kendala psikologis pelapor. Hasil atas investigasi lapangan dan standarisasi pelayanan tersebut kemudian dipakai untuk memediasi kasus ”penyimpangan jaminan subsidi” dengan menghadirkan pihak-pihak terlapor. Walau kejadian itu sudah hampir setahun yang lalu, tetapi inisiatif untuk tetap mempertanyakan ke LOD dipicu oleh keinginan besar ” supaya orang lain nantinya bisa mengerti prosedur pemerintah” papar Karsiah.

Berdasar pada pengaduan, aturan yang ada, dan hasil investigasi ke pihak pelapor, pada tanggal 26 desember 2006, LOD-DIY melakukan mediasi antara pelapor, RSUD sleman, Unit Transfusi Darah RSUD Sleman dan PT Askes KCU Yogyakarta. Dari hasil mediasi, dicapai keputusan final bahwa pihak terlapor berkewajiban untuk mengembalikan secara material biaya pelayanan kesehatan yang sudah ditarik dari pelapor. Keputusan dan proses ini secara lebih strategis dan jangka panjang diartikan sebagai komitmen besar aparatus birokrasi untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik.

Lessons learned

Komitmen besar dari aparatus birokrasi dan pelapor pada dasarnya menjadi titik awal untuk mengembalikan dan memperbaiki pelayanan yang ”gagal” dalam perangkat instrumentasinya. Kelalaian atas pelayanan publik kemudian menjadi persoalan bersama yang kemudian menjadi pijakan formulasi kebijakan. Kerangka bersama untuk menciptakan pola pelayanan public yang berbasis kesetaraan (equality and non-discrimination), pertanggungjawaban (accountablility), kemauan bersama untuk duduk menyelesaikan problem bersama (participative) serta kesadaran bahwa setiap aspek tidak terpisah dan saling bergantung (indivisible/interdependency) menjadi landasan nilai dalam implementasi maupun monitoring kebijakan pemerintah (UN Covenant ECOSOC, 2000). Konsisten pemerintah untuk memberikan akses yang sama akan mendorong akselerasi perbaikan kinerja birokrasi terutama di sektor-sektor strategis kemasyarakatan seperti kesehatan. Berdasar pada pelajaran kelemahan implementasi kebijakan kesehatan diatas, diharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah kedepan berorientasi pada social protection atau pola subsisi yang memberikan ruang bagi masyarakat miskin untuk maju dan memiliki hak yang sama atas pelayanan publik. Atas dasar itulah, kehadiran negara untuk mengendalikan dan mengatur sektor publik menjadi layak dan fundamental.)* (Tulisan ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Ombudsman Daerah Yogyakarta Edisi I-2007, ditulis bersama: Erwin Endaryanta dan Ratna Mustika Sari)

Tidak ada komentar: