Rabu, 02 Januari 2008

Gempa Tektonik itu....Mengingatkan Saya pada Gempa Politik di Tahun 1965

Gempa yang memporak-porandakan Yogyakarta 27 Mei tahun lalu telah menyisakan kepedihan yang teramat dalam bagi masyarakat yang menjadi korban. Adanya bencana dahsyat yang merenggut 6000an korban jiwa serta meluluh lantakkan semua infrastruktur yang ada, tidak serta merta menumbuhkan kepekaan dari aparat birokrasi daerah yang menjadi garda terdepan dalam melaksanakan proses rekonstruksi paska gempa. Terlebih dalam hal penyaluran dana rekonstruksi melalui mekanisme pembentukan Pokmas di masyarakat.

Kendala pendataan serta mekanisme penyaluran dana rekonstruksi terhambat soal keadministrasian. Begitu pula bagi mereka yang telah menerima dana tersebut masih terbentur kendala mengenai kebijakan pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang salah satu syaratnya adalah menyerahkan KTP. Bila tidak segera menyerahkan KTP maka dana rekonstruksi tersebut harus dikembalikan. Bisa dibayangkan, sulitnya memenuhi syarat tersebut bila KTP hilang dalam reruntuhan gempa, apalagi bagi mereka yang memiliki “KTP khusus” yang disebabkan “gempa politik 1965”.

Sebut saja kasus yang dialami NT, seorang warga Kota Yogyakarta yang pernah menjadi tahanan politik terkait kasus 1965. NT telah mendapatkan dana sebesar 15 juta dari pemerintah untuk pembangunan kembali rumah akibat gempa bumi. Dengan statusnya sebagai eks-tapol, mendapatkan KTP sebagai syarat pengurusan IMB menjadi lebih sulit. Padahal IMB ini menjadi syarat untuk mendapatkan bantuan rekonstruksi rumah warisan miliknya di Desa Potorono, Bantul, yang roboh akibat gempa. Meski akhirnya bisa mendapatkan KTP dan mendapatkan IMB, tetapi NT harus menempuh jalur birokrasi yang berliku.

Rasa was-was yang sangat menghantui perasaan NT karena administrasi kependudukan atas dirinya diiringi oleh ancaman dari pihak Kelurahan. Pihak kelurahan Potorono memberikan warning supaya persyaratan untuk IMB dikumpulkan dalam waktu 1 minggu. Apa yang terjadi jika tidak segera di urus? Kelurahan menyatakan uang bantuan harus dikembalikan.

Desakan dan kondisi itulah yang mendorong NT meminta pihak kecamatan untuk mempercepat pengurusan surat pindah tersebut. Namun ternyata tidak semudah yang diharapkan, imbuhan ‘ET’ dalam kartu identitasnya memaksa NT masuk dalam rumitnya prosedur birokrasi yang terpancang oleh Keputusan Mendagri No.10 tahun 1997. Pengurusan surat pindah tersebut harus terlebih dahulu menempuh jalur permohonan ijin yang harus dibuat pelapor dari tingkat Rt, Rw, Kelurahan, dan Kecamatan setempat ke Rt,Rw, Kelurahan, dan Kecamatan di tempat barunya.

Dari awal sampai hari ini, dari awal kan prosesnya di Kota terus saya diberi amplop, yang isinya keberatan atau tidak saya tinggal disana. Setelah dibuka, dibaca, suratnya bilang tidak masalah, ternyata bisa. Pak ini dari kelurahan Yogya itu minta itu ditulis secara tertulis. Dia bilang ndak usah, ndak apa-apa. Saya pulang bawa amplop itu, terus saya bilang kelurahan sana tidak masalah. Lalu dibikinkan surat lagi dari Kota, lalu ke Potorono lagi, dibuka dan diterima, dari sana menyatakan keberatan. Dari kelurahan bilang nanti kelurahan saja, ndak usah keburu-buru nanti terserah Lurahnya”, tutur NT menggambarkan bagaimana dia di ping-pong oleh aparat kelurahan.

Setelah akhirnya mendapat surat permohonan ijin pindah dari Kota, terus dilanjutkan dengan pengurusan C1 (Kartu Keluarga) dan KTP di Potorono. “Saya kesana belum jadi…belum jadi….udah sekitar 2 minggu lebih. Saya sampai berapa kali kesana belum jadi. Begitu saya pulang, terus ada yang bilang KTP Sementara sudah jadi dan suruh ke kaur pemerintahan kelurahan, nah itu..saya kesana ketemu, terus dia bilang: Pak ini prosesnya baru jadi KTP Sementara untuk mengurus IMB Pokmas, ya ini untuk memburu IMB itu”, tandasnya lagi sambil menirukan kalimat petugas Kelurahan.

Proses yang berbelit itu tidak cukup sampai disitu, ternyata juga butuh biaya yang tidak sedikit. Untuk sebuah KTP Sementara, NT harus merelakan uang sejumlah Rp 150 ribu untuk memperolehnya. “ Yang pertama saya sudah kasih 50 ribu, dari pada kesana kemari saya repot, dan kedua di rumahnya dia memperinci uang ini dan itu, jadi kelebihannya terserah Bapak, terus saya kasih lagi 100 ribu. Tapi kok Cuma punya saya, punya anak dan isteri saya belum jadi, entah jadinya kapan saya tidak tahu”, tutur NT merincikan biaya pengurusan KTP itu.

Nampaknya dengan kepindahannya ke Potorono masih menyisakan kegelisahan bagi NT dan keluarga. Phobia akibat “gempa politik 65” tampak masih menggelayuti pikirannya. Rumah dari program rekonstruksi sudah hampir selesai, hanya kurang pintu dan jendela yang belum terpasang, untuk itu dia butuh menyisihkan rejeki lagi. “Saya bingung… saya kerja disana (Kota Yogyakarta-red), tapi kependudukan saya sudah disini (Potorono-red). Saya takut ada orang yang gimana-gimana. Saya disini sudah berpuluh-puluh tahun, jadi tidak masalah. Di Rt/ Rw juga ikut membantu, di paguyuban Rw itu ada paguyuban Kliwon dan saya dipercaya jadi pengurus. Saya masih khawatir, kalau ada orang yang tidak setuju, saya tidak tahu ya?” paparnya bimbang. Kesulitan mencari nafkah yang dibantu isterinya berjualan gorengan mengingat penghasilannya Rp 500 ribu per bulan sebagai tenaga kontrak disalah satu pengelola kawasan wisata dirasa sangat minim, apalagi harus merampungkan rumah yang dibangun itu.

Kegelisahannya untuk mengurus IMB rumahnya terjawab sudah. Berawal dari pertemuannya dengan teman sekampungnya yang sempat menjadi penghuni Pulau Buru itulah NT diajak ke (LOD-DIY). Ngene wae koe saiki melu aku”tuturnya menirukan ajakan teman.

Pengaduannya ditindaklanjuti oleh LOD_DIY dengan menghubungi pihak Kecamatan Yogyakarta dan Banguntapan. Usulan riil diajukan, supaya pihak Kecamatan mempercepat proses pembuatan surat pindah dan KTP. Alternatif lain, kalau pun belum bisa selesai dalam waktu dekat, LOD-DIY meminta supaya surat permohonan IMB cukup dengan KTP sementara atau surat keterangan sedang mengurus surat pindah dan KTP.

Hasilnya, permasalahannya sudah dapat terfasilitasi dengan baik. Pada awal Mei, KTP Sementara sudah dapat dibuat oleh Kelurahan Potorono. Meskipun NT harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, namun yang penting bagi NT telah berhasil mengajukan syarat-syarat untuk menyusun IMB. Akhirnya, tanggal 19 Mei 2007 NT telah memperoleh KTP asli. (Tulisan ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Ombudsman Daerah Yogyakarta Edisi I-2007, ditulis bersama: Ratna Mustika Sari, Erwin Endaryanta, Eko Agus Wibisono)

LOD-DIY DALAM MANAJEMEN RESIKO BENCANA GEMPA BUMI DI PROPINSI DIY

Setelah diguncang gempa pada tanggal 27 Mei 2006, masyarakat dan pemerintah Yogyakarta saat ini sedang mulai berbenah memulihkan diri dari berbagai dampak bencana gempa tersebut. Pemulihan ini salah satunya diupayakan melalui program rekonstruksi dan rehabilitasi yang dilaksanakan mulai tanggal 15 Nopember 2006 s/d 30 Desember 2006. Program rehabilitasi – rekonstruksi ini adalah bagian dari perencanaan penanggulan bencana yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi DIY.

Secara umum, konsep penanggulangan bencana yang diadopsi oleh pemerintah DIY terdiri dari 3 fase, yaitu fase tanggap – darurat, rehabilitasi - rekonstruksi, dan pemulihan ekonomi. Ini berarti, dalam skema perencanaan penanggulangan bencana yang diadopsi pemerintah provinsi DIY, kita telah memasuki fase kedua – fase rehabilitasi – rekonstruksi.

Dalam implementasinya, program ini berjalan dengan menjumpai beberapa kasus yang kemudian bisa mempengaruhi penilaian publik terhadap kinerja pemerintah dan efektifitas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah DIY. Lembaga Ombudsman Daerah yang menjalankan fungsi monitoring dan evaluasi dalam program ini menjumpai berbagai kasus penyimpangan, kesalahan pendataan, maupun penyalahgunaan kekuasaan oleh para pelaksana di lapangan.

Sebagai sebuah kebijakan publik, implementasi dari program rehabilitasi – rekonstruksi sangat ditentukan oleh peran dan kinerja birokrasi sebagai perangkat publik. Dalam cara pandang ini, peran dan kinerja birokrasi diukur dari sejauh mana mereka bisa menjamin bahwa hak-hak masyarakat sebagai warga negara bisa terpenuhi. Dalam konteks bencana gempa, maka harus ada skema untuk bagaimana memaksimalkan pelayanan publik kepada masyarakat warga negara dalam situasi yang sifatnya abnormal.

Pernyataan di atas melihat peran birokasi dalam kerangka paradigma pelayanan publik berbasis hak - right based public services. Dalam paradigma ini basis ukuran keberhasilan, efektifitas, dan kinerja kebijakan/pelayanan publik adalah pemenuhan hak masyarakat sebagai warga negara. Hak-hak warga negara, merujuk pada kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.

Ketika diterapkan sebuah upaya penanggulangan bencana maka paradigma itu diletakan dalam kerangka manajemen-resiko. Dalam berbagai analisa manajemen resiko, resiko dianggap sebagai fungsi dari bahaya, kerentanan dan nilai yang dipengaruhi oleh kapasitas dari si penanggung resiko.

Dalam rumus di atas, besarnya resiko berbanding terbalik dengan kapasitas. Kapasitas dalam rumus di atas terdiri dari dua elemen utama, yaitu : kapasitas masyarakat dan kapasitas pemerintah serta birokrasi. Aspeknya terdiri dari kapasistas politik, kapasitas ekonomi, kapasitas sosial – kultural. Tetapi yang terpenting dalam tulisan ini, kapasitas birokrasi juga berpengaruh terhadap besar – kecilnya resiko yang potensial ditanggung oleh seluruh masyarakat warga negara.

Dalam konteks bencana, manajemen resiko biasanya merujuk pada upaya pengurangan resiko bencana – pencegahan, kesiagaan, dan mitigasi – dan aksi kemanusiaan dan pembangunan – respon tanggap darurat, bantuan, dan rekonstruksi. Menurut Department for International Development (DFID), lembaga donor internasional yang sering terlibat dalam penanganan bencana, Tantangan utama dalam mengarusutamakan resiko bencana dengan memasukannya dalam perencanaan pembangunan adalah masalah insentif, kelembagaan dan struktur pendanaan, asumsi tentang kapasitas mengurangi resiko dari pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin dan kurangnya sensitifitas dan informasi terhadap isu-isu bencana.

Kapasitas birokrasi dan minimalisasi resiko

Dalam konteks management bencana di yogyakarta, perlu kiranya memperhatikan usaha dalam meminimalisir korban. Korban bukan hanya yang terjadi pada saat gempa, melainkan pasca gempa. Lemahnya kapasitas birokrasi dan kapasitas sosial dalam memprioritaskan bantuan pada pihak-pihak yang rentan, akan berakibat semakin besarnya korban yang jatuh. Oleh karena itu, penguatan kapasitas menjadi penting. Sebagai intrument negara, birokrasi dan jejaringnya merupakan lembaga yang kali pertama dikonfirmasi kesiapannya dalam penanggulangan bencana. Mengapa demikian? Hal ini terkait dengan fungsinya sebagai perangkat publik yang memenuhi kebutuhan publik warga negara.

Dalam konteks meminimalisir resiko, Penempatan abnormalitas situasi penting untuk dipikirkan karena selama ini desain, perencanaan, strategi, sampai pada prosedur baku kerja birokrasi didasarkan pada asumsi normalitas dan mengabaikan kemungkinan munculnya kondisi-kondisi abnormal di masa yang akan datang.

Seperti sudah dinyatakan di atas, indikator yang digunakan untuk mengukur kapasitas birokrasi di sini adalah sejauh mana birokrasi mampu menjalankan fungsi pemenuhan hak warga negara. Indikator ini diturunkan dari paradigma right – based public – services. Dalam kasus ini, yang hak warga negara dimaknai sebagai hak warga negara untuk berpartisipasi dalam formulasi kebijakan penanggulangan bencana, khususnya program rehabilitasi dan rekonstruksi, dan mendapatkan jaminan atas kesejahteraannya, yang diindikasikan oleh bantuan yang mereka terima untuk merehabilitasi atau merekonstruksi tempat tinggal mereka, yang sesuai dengan standar tempat tinggal tahan – gempa.

Indikator pemenuhan hak warga negara ini akan digunakan sebagai payung bagi bekerjanya indikator transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Tiga indikator yang terakhir digunakan oleh Lembaga Ombudsman Yogyarakat dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi program rehabilitasi – rekonstruksi pasca gempa Yogyakarta.

Kapasitas birokrasi di sini diturunkan sebagai kapasitas birokrasi untuk meminimalisir tingkat kerentanan – vulnerability – demi memperkecil resiko yang dihadapi oleh masyarakat. Kerentanan dijabarkan sebagai faktor yang memperbesar resiko dan dampak yang ditanggung seseorang terkait dengan bencana.

Kapasitas birokrasi dalam mengurangi resiko juga dipengaruhi oleh sensitifitas dari rencana dan strategi pembangunan yang dibuat oleh pemerintah terhadap isu bencana. Pengabaian terhadap resiko bencana yang selama ini terjadi berujung pada ketidaksiapan dari pemerintah, dan juga birokrasi, dalam menanggulangi dan meminimalisir resiko yang dihadapi oleh masyarakat dari situasi abnormal akibat bencana.

Masyarakat dan pemerintah Yogyakarta telah menarik pelajaran berharga dari ketidaksiapan mereka dalam menghadapi bencana satu tahun yang lalu. Penerapan bangunan tahan gempa adalah alternatif kebijakan masa depan. minimalnya korban mungkin di capai dengan desain rumah tahan gempa sehingga jika harus mengalami gempa lagi di masa yang akan datang rumah tersebut tidak akan mengalami kerusakan yang terlalu parah dan tidak membahayakan penghuninya. Kebutuhan untuk desain ini adalah hak warganengara. Dan sebaliknya, menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Meskipun telah dimasukan dalam perencanaan dan telah ditetapkan instrumen pelaksanaannya, rekonstruksi dan rehabilitasi rumah warga yang tahan gempa ini menemui banyak masalah dalam implementasinya di lapangan.

Permasalahan tentang kapasitas birokrasi sudah dimulai sejak proses pendataan. Dalam studi kebijakan sosial, bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan di Yogyakarta menganut paradigma targeted social insurance. Artinya jaminan sosial diberikan pada sebagian tertentu dari masyarakat yang memenuhi syarat untuk mendapatkan santunan dari negara guna menjamin kesejahteraannya. Ketika ada warga negara yang memenuhi syarat untuk mendapatkan jaminan atas kesejahteraannya, tetapi ternyata tidak mendapatkannya karena problem pendataan, berarti pemerintah dianggap gagal menjalankan kewajibannya terhadap warga negara. Hal ini muncul dari indikasi ditemuinya kasus-kasus bantuan untuk rekonstruksi – rehabilitasi yang salah sasaran. Data yang dihasilkan melalui proses pendataan, dan telah dua kali melalui proses verifikasi, ternyata tidak sepenuhnya akurat dan bisa diandalkan untuk menggambarkan kondisi yang sesungguhnya di masyarakat.

Selain itu, upaya pemberdayaan dan mobilisasi partisipasi masyarakat melalui penggunaan instrumen kelompok – masyarakat, sebagai agen utama pengelolaan bantuan rehabilitasi – rekonstruksi, menemui banyak kendala di masyarakat. Kendala ini memang tidak selalu disebabkan oleh lemahnya kapasitas birokrasi, tetapi juga oleh kapasitas sosial yang berakar dari strategi pembangunan masa lalu yang tidak sensitif dalam membaca fenomena fluktuasi geografis dan dinamika sosial. Faktor kelengahan – unpreparedness – berimplikasi pada lemahnya kapasitas sosial.

Kelemahan-kelemahan birokrasi yang muncul dalam program rehabilitasi – rekonstruksi pasca gempa Yogyakarta meliputi: kelemahan dalam mengkoordinasikan bantuan, kurangnya kapasitas dalam melakukan institusionalisasi pelaksanaan program bantuan dan pembangunan struktur pembiayaan. Implikasi yang tidak diharapkan adalah munculnya kegagalan dalam fokusing dan pembacaan prioritas pengiriman bantuan yang kurang jeli memetakan tingkat kerentanan sosial – vurnerability – dalam masyarakat. Walau setiap individu dalam masyarakat korban gempa sama-sama memiliki hak atas bantuan, petimbangan terhadap prioritas bantuan untuk orang miskin atau kaum marginal bisa saja tidak tercover dengan maksimal karena mereka relative tidak mau bersuara – voiceless.

Temuan kegiatan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh LOD Yogyakarta memperlihatkan bahwa banyak terjadi kasus salah sasaran dan penyelewengan dana bantuan serta tidak adanya koordinasi di level birokrasi dalam pembentukan tim verifikasi yang dikenal sebagai KMK. Dalam beberapa kasus, KMK ini sudah bekerja sementara tim fasilitator teknik belum terbentuk. Tim fasilitator teknik ini bertugas melakukan assesment terhadap tingkat kerusakan yang diderita oleh warga yang terdata sebagai penerima bantuan. Selain itu, tim fasilitator teknik ini juga menjadi consultant untuk pembangunan rumah tahan gempa.

Terjadinya salah sasaran dan penyelewengan dana bantuan mengindikasikan lemahnya fungsi kontrol serta fungsi monitoring dan evaluasi yang dijalankan oleh birokrasi. Proses pendataan sudah menghadirkan problem munculnya pengaruh sentimen pribadi di antara masyarakat dalam data yang dihasilkan. Ketika data ini diverifikasi oleh tim yang kinerjanya tidak bisa maksimal akibat kurangnya koordinasi, maka hasil akhirnya adalah data yang tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya di lapangan.

Kurangnya koordinasi dalam pembentukan tim verifikasi memang merupakan sebuah permasalahan klasik dalam dunia organisasi, terlebih lagi dalam situasi abnormal seperti bencana. Tetapi, karena ke – klasik – annya itu seharusnya, problem koordinasi sudah bisa diantisipasi sejak dini. Kurangnya koordinasi dalam kasus-kasus temuan di LOD Yogyakarta tersebut bisa berdampak besar di masa mendatang, yaitu kerentanan yang di masyarakat terhadap bencana yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Ini terjadi karena kurangnya prasyarat dan informasi teknis, yang mensyaratkan kualifikasi tertentu, dalam meningkatkan kesiapan masyarakat untuk menghadapi situasi abnormal di masa yang akan datang.

Pernyataan ini bisa diverifikasi dengan melakukan assesment ketahanan bangunan rumah hasil bantuan program rehabilitsi – rekonstruksi ketika program ini telah selesai berjalan. Dalam studi kebijakan, kegiatan ini termasuk dalam fungsi monitoring dan evaluasi. Ketahanan rumah warga terhadap gempa, tanpa mengabaikan faktor kelayakan hunian, itulah yang akan menjadi indikator utama untuk menilai apakah program rehabiltasi – rekonstruksi serta kebijakan besar penanggulangan bencana bisa dikatakan berhasil. Tentu saja tanpa mengabaikan indikator lain, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi.

Langkah - Langkah Kedepan

Di zona kelembagaan birokrasi. Kelembagaan birokrasi adalah problem pertama. Jika ditilik lebih dalam, birokrasi mengadopsi esensi logika sentralisasi dalam pengambilan kebijakan. Kesalahan dalam implementasi di level bawah kemudian adalah kesalahan atas intepretasi standar operasional dan kebijakan atasannya. Semakin panjang rantai birokrasi akan berimplikasi pada reduksi informasi dan berlapisnya level intepretasi. Akan tetapi, Langkah pemerintah yogyakarta untuk menyelesaikan masalah yang muncul dari tata kelembagaan ini sudah diantisipasi sejak awal, dengan mengadopsi pendekatan partisipatoris dan pemberdayaan. Selain itu, birokrasi juga menyiapkan mekanisme pengaduan terhadap pelayanan publik khusus untuk penanganan gempa. Akan tetapi, mekanisme komplain dalam birokrasi mungkin saja terjebak dalam mekanisme administrasi, koordinasi antar departement. Walaupun demikian, disisi corak pendekatan yang dipakai birokrasi harus diakui mengadopsi fleksibilitas dalam kelembagaannya dan mengkonsolidasikan potensi dengan membangun POKMAS. Kelemahan dalam adopsi fleksibilitas adalah dimana kemudian dimana letak level pengambilan keputusan? Dalam tataran inilah, penting memasukkan aspek mekanisme penyesuaian – adjustment – dan mekanisme pengaduan – complaint – dalam kelembagaannya untuk menjamin kebijakan yang diambil tepat sasaran dan tidak mengabaikan hak-hak dasar warganegara. Ketidak mampuan kepasitas semisal dalam pola-pola penyimpangan kuat nya indikasi adanya “ makelar dana bantuan “ bisa terantisipasi sejak dini. Fungsi antisipatif ini secara transisional dikawal LOD untuk memastikan ketepatan sasarannya. Penguatan kapasitas birokrasi diharapkan bertambah dengan adopsi mekanisme komplain dan mekanisme penyesuaian ini.

Di zona pembiayaan, Gempa yogya menjadi penanda bagi uji kesiapan birokrasi dan segenap komponen modal sosial yogyakarta untuk menata ulang yogya kedepan. Proses penataan dengan mempertajam efektifitas dan efisiensi tahap rehab-rekon supaya tepat sasaran dipastikan terjadi manakala pada level ide segenap komponen stake-holders di yogyakarta menjunjung tinggi pelayanan publik berbasis pada hak-hak dasar warganegara. Atas jaminan dimasa depan hak dasar warga jogya tidak ter-interupsi, sikap politik pemerintah dan warga jogja dalam menolak hutang luar negeri untuk pembiayaan gempa adalah langkah yang radikal. Akan tetapi wujud keradikalan ini harus juga teruji dalam implementasi kebijakan tahap rehab-rekon sebagai bagian dari implementasi kebijakan yang lebih detail. Mengapa demikian? idiom, the devil in its detail, tidak terjadi. Alternatif penggalangan dana kemudian menggunakan sumber daya yang berasal dari APBN/APBD dan modal sosial yogyakarta. Dalam logika anggaran, alokasi anggaran untuk belanja publik akan mereduksi anggaran publik yang lain (opportunity cost). Jaminan kebijakan berbasis hak dasar ini kemudian memberikan kerangka bahwa tingkat alokasi APBN/APBD untuk belanja barang publik dalam tahap rehab-rekon tidak meredusi prioritas belanja anggaran untuk pemenuhan hak-hak dasar warga negara yang lain, semisal dalam pendidikan dan kesehatan. Semisal Pembebasan biaya-biaya pendidikan dan kesehatan harus dipastikan terimplementasikan dengan mereduksi biaya-biaya penyelenggaran birokrasi yang tidak efektif dan efisien. Perhitungan opportunity cost menjadi penting.

Di zona kebijakan, perlu di fahami bahwa UU penanganan bencana sebelumnya belum ada. Artinya, kebijakan Indonesia belum menyiapkan strategi yang komprehensif untuk penanganan bencana. Akibatnya, tidak ada patokan yag baku bagaimana menanggulangi bencana. Walaupun demikian, esensi kebijakan publik memastikan bahwa publik atau masyarakat menjadi sasaran utama. Efektifitas dan efisiensinya kebijakan diukur pada sejauh mana pemenuhan atas hak warganegara, dalam hal ini adalah masyarakat korban gempa. Oleh karena itu, indikator transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi adalah bangunan mekanisme bagaiman implementasi kebijakan tepat sasaran. implikasi dari kelemahan birokrasi dan bagaimana penciptaan ruang – ruang perbaikannya. Ruang perbaikan secara parsial atau incremental. Pola ini diadopsi di dalam memastikan instrumentasi kebijakan tepat sasaran atau tidak keluar jari rel melayani publik. Disini kemudian, pembagian peran dan aktor menjadi penting. Pembagian peran LOD sebagai lembaga yang menjalankan fungsi intermediari dan Eksekutif – legislatif sebagai eksekutor menjamin berjalannya skema pemberdayan masyarakat. Jembatan partisipasi tidak sekedar melihat kapasitas birokrasi dalam melakukan mobilisasi pasif akan tetapi juga mobilisasi aktif. Yang disebut dengan mobilisasi pasif adalah kemampuan mengkoordinasikan dan menggunakan sumber daya yang ada sekedar untuk memastikan prosedure ter implemetasikan. Lebih luas, bahwa partisipasi aktif ( mekanisme komplain, mekanisme adjustment dalam kontrolling kebijakan) adalah memastikan bahwa kebijakan tersebut tepat sasaran. Oleh karena itu, dampak sebagai penilaian derajat penyimpangan dipahami bukan sebagai provokasi kehancuran kebijakan pemerintah melainkan sebagai otokritik supaya kebijakan rehab-rekon tepat sasaran. Disinilah, kemudian perlu kiranya lembaga ombudsman dimaknai sebagai mekanisme rujukan terhadap kelemahan implementasi management bencana manakala lini-lini pelayanan yang disediakan birokrasi pemerintah belum memuaskan harapan publik. dimungkinkan melalui adopsi mekanisme pengaduan dan mekanisme penyesuaian(Tulisan ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Ombudsman Daerah Yogyakarta Edisi I-2007, ditulis bersama: Erwin Endaryanta dan Joash Tapi Heru)

Implementasi Asuransi Kesehatan Bagi Keluarga Miskin (Gakin)

Ditengah upaya Negara untuk memperbaiki pelayanan dasar bagi warganegara (citizenship), Pemerintah melalui PT Asuransi kesehatan memberlakukan Program Jaminan Pemeliharaan kesehatan bagi Masyarakat Miskin dalam bentuk Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (ASKES GAKIN). Instrumentasi atas berjalannya mekanisme tersebut ternyata menyisakan masalah yang akut. Diluar mis-coordinasi antara PT. ASKES sebagai Badan Pelaksana Asuransi Kesehata dan PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan) sebagai provider, secara psikis adanya ketakutan dari masyarakat miskin sebagai peserta ASKES-GAKIN berhadapan dengan birokrasi menjadi kendala instrumentasi subsidi ASKES GAKIN juga lemah di implementasikan.

Ibu Karsiyah, adalah salah satu pelapor yang datang ke Lembaga Ombudsman Daerah Propinsi DIY (LOD-DIY) untuk membicarakan kasus lemahnya instrumentasi pelayanan subsidi kesehatan bagi masyarakat miskin. Ditengah kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, pelapor sebagai pemilik kartu sementara Asuransi Kesehatan dengan no: 6356215003264 ini memberikan keterangan ke LOD-DiY bahwa Anak kandungnya, Ajud Joko Supriyono, pada tanggal 22 Oktober 2005 dirawat inap RSUD Sleman.

Biaya keseluruhan di rumah sakit dirasakan sangat memberatkan. Pekerjaan keseharian yang pas-pasan tidak mampu mencukupi biaya rawat inap, obat dan darah. Beruntung bagi beliau, RSUD Sleman memberikan fasilitas rawat inap gratis di Kelas III karena kondisi perekonomianya.Walaupun pada awalnya, fasilitas rawat inap gratis di kelas III penuh, sehingga anaknya harus menempati fasilitas rawat inap di kelas II.

Mendapatkan fasilitas rawat inap di Kelas III bukan berarti bebas biaya administrasi dan biaya empat kantong darah. Ia tetap diharuskan membayar uang administrasi dan biaya empat kantong darah sebanyak 400.000 rupiah. Disamping itu, juga diharuskan membeli obat di luar RSUD seharga 200.000 rupiah dikarenakan harga obat di dalam rumah sakit mahal dan tidak tersedia.

Kronologis Penanganan Kasus

Kasus

22 Oktober 2005

Pemungutan Biaya RS Daerah Sleman dari pemilik kartu sementara Askes-Gakin

Pelapor

Karsiyah, Perempuan

Terlapor

RSUD – Sleman dan PT Akses KCU Yogyakarta

Alur penanganan

23-27 Desember 2006

· Pelapor datang ke LOD

· Investigasi Lapangan ke Rumah Pelapor

· Mediasi

· Rekomendasi

Hasil

· Pengembalian biaya 480.000 rupiah oleh pihak PMI kepada pasien

Kasus yang dilaporkan oleh Ibu Karsiyah dikategorikan sebagai tindakan mal-administrasi. Hal ini didasarkan pada implementasi program ASKES-GAKIN yang dialami Ibu Karsiyah tidak berdasarkan pada standar pedoman penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin yang dikeluarkan Depkes RI tahun 2005. Dalam aturan tersebut menyatakan bahwa diluar akomodasi rawat inap gratis, ada beberapa kriteria standard pelayanan yang diberikan rumah sakit pemerintah. Diantaranya adalah konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan fisik, tindakan medis, pemberian obat-obatan sesuai ketentuan dan pelayanan darah.

Untuk menindaklanjuti kasus tersebut, LOD-DIY melakukan investigasi lapangan untuk mendapatkan penggalian data yang lebih akurat. Dikhawatirkan data yang dipaparkan tidak terungkap secara maksimal dikarenakan kendala psikologis pelapor. Hasil atas investigasi lapangan dan standarisasi pelayanan tersebut kemudian dipakai untuk memediasi kasus ”penyimpangan jaminan subsidi” dengan menghadirkan pihak-pihak terlapor. Walau kejadian itu sudah hampir setahun yang lalu, tetapi inisiatif untuk tetap mempertanyakan ke LOD dipicu oleh keinginan besar ” supaya orang lain nantinya bisa mengerti prosedur pemerintah” papar Karsiah.

Berdasar pada pengaduan, aturan yang ada, dan hasil investigasi ke pihak pelapor, pada tanggal 26 desember 2006, LOD-DIY melakukan mediasi antara pelapor, RSUD sleman, Unit Transfusi Darah RSUD Sleman dan PT Askes KCU Yogyakarta. Dari hasil mediasi, dicapai keputusan final bahwa pihak terlapor berkewajiban untuk mengembalikan secara material biaya pelayanan kesehatan yang sudah ditarik dari pelapor. Keputusan dan proses ini secara lebih strategis dan jangka panjang diartikan sebagai komitmen besar aparatus birokrasi untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik.

Lessons learned

Komitmen besar dari aparatus birokrasi dan pelapor pada dasarnya menjadi titik awal untuk mengembalikan dan memperbaiki pelayanan yang ”gagal” dalam perangkat instrumentasinya. Kelalaian atas pelayanan publik kemudian menjadi persoalan bersama yang kemudian menjadi pijakan formulasi kebijakan. Kerangka bersama untuk menciptakan pola pelayanan public yang berbasis kesetaraan (equality and non-discrimination), pertanggungjawaban (accountablility), kemauan bersama untuk duduk menyelesaikan problem bersama (participative) serta kesadaran bahwa setiap aspek tidak terpisah dan saling bergantung (indivisible/interdependency) menjadi landasan nilai dalam implementasi maupun monitoring kebijakan pemerintah (UN Covenant ECOSOC, 2000). Konsisten pemerintah untuk memberikan akses yang sama akan mendorong akselerasi perbaikan kinerja birokrasi terutama di sektor-sektor strategis kemasyarakatan seperti kesehatan. Berdasar pada pelajaran kelemahan implementasi kebijakan kesehatan diatas, diharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah kedepan berorientasi pada social protection atau pola subsisi yang memberikan ruang bagi masyarakat miskin untuk maju dan memiliki hak yang sama atas pelayanan publik. Atas dasar itulah, kehadiran negara untuk mengendalikan dan mengatur sektor publik menjadi layak dan fundamental.)* (Tulisan ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Ombudsman Daerah Yogyakarta Edisi I-2007, ditulis bersama: Erwin Endaryanta dan Ratna Mustika Sari)

LOD DIY dalam Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pasca-Gempa Yogyakarta