Rabu, 02 Januari 2008

Gempa Tektonik itu....Mengingatkan Saya pada Gempa Politik di Tahun 1965

Gempa yang memporak-porandakan Yogyakarta 27 Mei tahun lalu telah menyisakan kepedihan yang teramat dalam bagi masyarakat yang menjadi korban. Adanya bencana dahsyat yang merenggut 6000an korban jiwa serta meluluh lantakkan semua infrastruktur yang ada, tidak serta merta menumbuhkan kepekaan dari aparat birokrasi daerah yang menjadi garda terdepan dalam melaksanakan proses rekonstruksi paska gempa. Terlebih dalam hal penyaluran dana rekonstruksi melalui mekanisme pembentukan Pokmas di masyarakat.

Kendala pendataan serta mekanisme penyaluran dana rekonstruksi terhambat soal keadministrasian. Begitu pula bagi mereka yang telah menerima dana tersebut masih terbentur kendala mengenai kebijakan pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang salah satu syaratnya adalah menyerahkan KTP. Bila tidak segera menyerahkan KTP maka dana rekonstruksi tersebut harus dikembalikan. Bisa dibayangkan, sulitnya memenuhi syarat tersebut bila KTP hilang dalam reruntuhan gempa, apalagi bagi mereka yang memiliki “KTP khusus” yang disebabkan “gempa politik 1965”.

Sebut saja kasus yang dialami NT, seorang warga Kota Yogyakarta yang pernah menjadi tahanan politik terkait kasus 1965. NT telah mendapatkan dana sebesar 15 juta dari pemerintah untuk pembangunan kembali rumah akibat gempa bumi. Dengan statusnya sebagai eks-tapol, mendapatkan KTP sebagai syarat pengurusan IMB menjadi lebih sulit. Padahal IMB ini menjadi syarat untuk mendapatkan bantuan rekonstruksi rumah warisan miliknya di Desa Potorono, Bantul, yang roboh akibat gempa. Meski akhirnya bisa mendapatkan KTP dan mendapatkan IMB, tetapi NT harus menempuh jalur birokrasi yang berliku.

Rasa was-was yang sangat menghantui perasaan NT karena administrasi kependudukan atas dirinya diiringi oleh ancaman dari pihak Kelurahan. Pihak kelurahan Potorono memberikan warning supaya persyaratan untuk IMB dikumpulkan dalam waktu 1 minggu. Apa yang terjadi jika tidak segera di urus? Kelurahan menyatakan uang bantuan harus dikembalikan.

Desakan dan kondisi itulah yang mendorong NT meminta pihak kecamatan untuk mempercepat pengurusan surat pindah tersebut. Namun ternyata tidak semudah yang diharapkan, imbuhan ‘ET’ dalam kartu identitasnya memaksa NT masuk dalam rumitnya prosedur birokrasi yang terpancang oleh Keputusan Mendagri No.10 tahun 1997. Pengurusan surat pindah tersebut harus terlebih dahulu menempuh jalur permohonan ijin yang harus dibuat pelapor dari tingkat Rt, Rw, Kelurahan, dan Kecamatan setempat ke Rt,Rw, Kelurahan, dan Kecamatan di tempat barunya.

Dari awal sampai hari ini, dari awal kan prosesnya di Kota terus saya diberi amplop, yang isinya keberatan atau tidak saya tinggal disana. Setelah dibuka, dibaca, suratnya bilang tidak masalah, ternyata bisa. Pak ini dari kelurahan Yogya itu minta itu ditulis secara tertulis. Dia bilang ndak usah, ndak apa-apa. Saya pulang bawa amplop itu, terus saya bilang kelurahan sana tidak masalah. Lalu dibikinkan surat lagi dari Kota, lalu ke Potorono lagi, dibuka dan diterima, dari sana menyatakan keberatan. Dari kelurahan bilang nanti kelurahan saja, ndak usah keburu-buru nanti terserah Lurahnya”, tutur NT menggambarkan bagaimana dia di ping-pong oleh aparat kelurahan.

Setelah akhirnya mendapat surat permohonan ijin pindah dari Kota, terus dilanjutkan dengan pengurusan C1 (Kartu Keluarga) dan KTP di Potorono. “Saya kesana belum jadi…belum jadi….udah sekitar 2 minggu lebih. Saya sampai berapa kali kesana belum jadi. Begitu saya pulang, terus ada yang bilang KTP Sementara sudah jadi dan suruh ke kaur pemerintahan kelurahan, nah itu..saya kesana ketemu, terus dia bilang: Pak ini prosesnya baru jadi KTP Sementara untuk mengurus IMB Pokmas, ya ini untuk memburu IMB itu”, tandasnya lagi sambil menirukan kalimat petugas Kelurahan.

Proses yang berbelit itu tidak cukup sampai disitu, ternyata juga butuh biaya yang tidak sedikit. Untuk sebuah KTP Sementara, NT harus merelakan uang sejumlah Rp 150 ribu untuk memperolehnya. “ Yang pertama saya sudah kasih 50 ribu, dari pada kesana kemari saya repot, dan kedua di rumahnya dia memperinci uang ini dan itu, jadi kelebihannya terserah Bapak, terus saya kasih lagi 100 ribu. Tapi kok Cuma punya saya, punya anak dan isteri saya belum jadi, entah jadinya kapan saya tidak tahu”, tutur NT merincikan biaya pengurusan KTP itu.

Nampaknya dengan kepindahannya ke Potorono masih menyisakan kegelisahan bagi NT dan keluarga. Phobia akibat “gempa politik 65” tampak masih menggelayuti pikirannya. Rumah dari program rekonstruksi sudah hampir selesai, hanya kurang pintu dan jendela yang belum terpasang, untuk itu dia butuh menyisihkan rejeki lagi. “Saya bingung… saya kerja disana (Kota Yogyakarta-red), tapi kependudukan saya sudah disini (Potorono-red). Saya takut ada orang yang gimana-gimana. Saya disini sudah berpuluh-puluh tahun, jadi tidak masalah. Di Rt/ Rw juga ikut membantu, di paguyuban Rw itu ada paguyuban Kliwon dan saya dipercaya jadi pengurus. Saya masih khawatir, kalau ada orang yang tidak setuju, saya tidak tahu ya?” paparnya bimbang. Kesulitan mencari nafkah yang dibantu isterinya berjualan gorengan mengingat penghasilannya Rp 500 ribu per bulan sebagai tenaga kontrak disalah satu pengelola kawasan wisata dirasa sangat minim, apalagi harus merampungkan rumah yang dibangun itu.

Kegelisahannya untuk mengurus IMB rumahnya terjawab sudah. Berawal dari pertemuannya dengan teman sekampungnya yang sempat menjadi penghuni Pulau Buru itulah NT diajak ke (LOD-DIY). Ngene wae koe saiki melu aku”tuturnya menirukan ajakan teman.

Pengaduannya ditindaklanjuti oleh LOD_DIY dengan menghubungi pihak Kecamatan Yogyakarta dan Banguntapan. Usulan riil diajukan, supaya pihak Kecamatan mempercepat proses pembuatan surat pindah dan KTP. Alternatif lain, kalau pun belum bisa selesai dalam waktu dekat, LOD-DIY meminta supaya surat permohonan IMB cukup dengan KTP sementara atau surat keterangan sedang mengurus surat pindah dan KTP.

Hasilnya, permasalahannya sudah dapat terfasilitasi dengan baik. Pada awal Mei, KTP Sementara sudah dapat dibuat oleh Kelurahan Potorono. Meskipun NT harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, namun yang penting bagi NT telah berhasil mengajukan syarat-syarat untuk menyusun IMB. Akhirnya, tanggal 19 Mei 2007 NT telah memperoleh KTP asli. (Tulisan ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Ombudsman Daerah Yogyakarta Edisi I-2007, ditulis bersama: Ratna Mustika Sari, Erwin Endaryanta, Eko Agus Wibisono)

Tidak ada komentar: